Ibu selalu mengalah dari bapak,
tapi semua juga tahu betapa hebatnya ibu. Kalau dinilai 10-100, ibu dapat
seratus bulat, tambah dua kali lipat jika timbangannya mampu. Tapi sekali lagi,
sehebat apapun, sebenar apapun, ibu tetap selalu sedia mengalah dari bapak.
Tanpa diminta. Satu kali pernah kutanya kenapa ibu bisa se-legowo itu, jawabnya sederhana, hanya dengan sebuah senyum yang
dalam artinya, katanya aku akan tahu jika nanti sudah jadi ibu.
Lain kali, suatu saat aku diamanahi
untuk mengalah, dalam sebuah cerita yang jauh berbeda dari milik ibu. Ini hanya
tentang kestabilan sepihak yang butuh belas kasihan, dan bertolak dari lapangku
semua akan baik adanya. Sekeliling tahu bagaimana posisi ku, dan bagaimana
jalan ceritaku sampai harus ada di posisi itu. Dengan segala alasan yang meninggikanku,
akhirnya aku yang dibuat turun jauh ke bawah. Sedih, luruh, berjibaku. Bahkan
setiap alasan terhebatku mental. Bahkan setiap kebenaran yang kubuktikan tak
lagi perlu. Kesediaanku mengucap maaf yang kemudian jadi obatnya. Dan
begitulah.
Lalu aku hanya bisa mengingat
ibu. Berlari padanya dengan sejuta asa, yang pada akhirnya berhenti sebelum
terlempar, mengambang di awang-awang. Kutarik lagi keluhku. Bagaimana bisa aku
datang padanya sementah itu hanya untuk meluapkan setiap kesalku yang aku yakin
akan membebaninya. Ah ibu, pada akhirnya aku hanya sekedar bersandar dan diam,
meskipun aku tahu ibu tahu.
Jadi begitulah, pada akhirnya
setiap kekalahan itu tak selalu berarti kalah. Hanya orang-orang yang berjiwa
besar yang kemudian sanggup tetap melangkah tegar meskipun dunia luar menatap
heran. Ibaratnya sepak bola, "We're
Staying Up!" nya MU masih tetap jadi paling ramai di setiap chant MU
sepanjang stadion meskipun MU kalah dipertandingan, setidaknya dia selalu juara
dihati fans setianya meskipun keluar dari zona liga champion musim ini.
Pada akhirnya, sebenci apapun aku
pada kata maaf, sekukuh apapun aku pada setiap jalan yang kuusahakan, aku hanya
harus kembali pada kebermanfaatan, semesta pasti tegar menyambutnya, malaikat
juga tahu bagaimana yang semestinya. Karena bukan kemenangan yang mengantarkan
kita pada bahagia, tapi sebaliknya.
Bersama hati yang
sedang belajar menyusun kata,
bersama jejak terlena
yang mulai berdendang diam
Jogja, sekelumit maaf
untuk hatiku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar