Ibu kota yang sedang sibuk dengan
banjir cukup melelahkan, selesai berkutat dengan macet dari tebet sampai
kuningan yang memakan waktu hampir tiga jam akhirnya kami- aku dan kawan kawan
seperjalananku melarikan diri ke kota cita-cita sedari muda, Bandung. Dan lalu
lega. Bandung masih tetap sesegar jaman SMP dulu, ketika pertama kali
mengunjungi. Kami berlama-lama di sini, sekedar duduk-duduk di lorong masjid
yang entah kenapa sama sepinya dengan masjid di kota-kota, tapi tetap saja
menawan dan menawarkan bantuan bagi para pejalan.
Subuh sampai menjelang magrib hariku
habis di kota ini, mengunjungi beberapa kawan, menjejak kesan, dan berakhir
dipusat perbelanjaan yang paling tenar di Paris Van Java, Cibaduyut. Banyak
yang berubah tentu saja, dari tatanan, bangunan, dan sepanjang jalan. Tapi
tetap saja produk di sini selalu sama, boneka dan sepatu, sejauh mata
memandang. Lalu kami mulai tenggelam.
Bagiku, sebuah perjalanan tak akan
lengkap tanpa wisata kuliner. Bandung
tentu saja punya segudang, mulai dari peuyem sampai dodol, namun bukan
keduanya yang kemudian membuat perut membincang.
Sebuah cerita tersisa dari
jalan-jalan mahal ini, docang. Kata yang jualan, docang ini jadi
makanan asli dan khas Cirebon. Pertama kali lihat hidangannya sempat nggak
yakin, seperti lotek berkuah dan tak bisa membayangkan rasanya. Tapi setelah
memberanikan diri mencoba, ternyata enak luar biasa. Jauh dari rasa lotek. Docang
ini dibuat dengan memadukan lontong, daun singkong, kangkung, taoge, dilengkapi
dengan Dage (tempe gembos yang dihancurkan) kemudian dibumbui sambal kacang dan
ditabur parutan kelapa. Kuahnya? Gurih, entah apa bumbunya.
Tidak mudah menemukan makanan yang
satu ini, untungnya kami mampir di rumah seorang kawan dan berkesempatan
mencicipinya dari seorang bakul dekat rumah :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar