Sekedar celoteh sambil lalu, diketik pas malam-malam, sambil ngemil dan begadang. Jangan terlalu dalam dipikirkan, jangan bawa-bawa perasaan, jangan marah, dan salam sayang.

Senin, 09 Mei 2016

Bicara

Beberapa tahun lagi saya genap berusia perak, seperempat abad. Saya tentu saja pernah muda, dan berlaku sok bijak pada masanya. Sungguh lucu sekali untuk kembali mengingatnya. Jadi sore tadi baru saja scroll scroll wall facebook setelah tidak bisa log in beberapa lama karena penyakit lupa.

Saya semacam terjebak nostalgia yang agak berlebihan lagi gila. Timeline jaman sebelum merasai bangku kuliah, isinya lucu, lucu sekali. Katakanlah alay, saya pernah terlibat pada masanya, gandrung sekali pada sepak bola dan menjadi fans klub tertentu, bukan fanatik tapi karbitan lebih tepatnya. Tentu saja baru baru ini saja saya memiliki kesadaran yang cukup untuk menerima kenyataan tersebut, alasan suka sekali pada Real Madrid : Ricardo Kaka. Itu saja. Lalu bermula dari sana melebar kemana mana.

Lalu beranjak ketahun 2010-2011, masa-masa jet lag akibat transisi kondisi lingkungan pergaulan, tanggung jawab, dan rasa penasaran. Pada masa ini timeline di Facebook bercerita tentang betapa 'sok bijaknya' saya pada masa itu. Tentu saja ini teramat lucu, ndakik pokmen! Kala itu, saya mulai sok dewasa dalam menghadapi irama hari yang semakin rumit lagi sulit. Bicara saya quotable untuk dipakai pacuan menjelang hari Senin.

Lalu semua berubah begitu saja, dipenghujung masa kemerdekaan seorang manusia bergelar 'mahasiswa' saya mulai bisa memperbaiki perspektif saya yang njlimet, bukan menyederhanakan juga sih, tapi menjabarkannya. Jadi kemudian makin abstrak outputnya.

Lucu. Parah. Ndakik sekali.

Selasa, 06 Mei 2014

Patah

"Untung cuma plakat yang patah, bukan semangatmu", ujarmu ringan. Aku sekedar tertawa begitu saja. Ini bukan kali pertama, aku memperjuangkan sesuatu, aku menang, aku menerima penghargaan, lalu simbol yang tanganku pegang patah tak tahan.


Yang kemudian seringkali membuatku bertahan melanjutkan perjalanan adalah sederet kalimat sederhana yang tak bosan-bosan kau bilang. Tentang kepentingan semangat yang tak sedikitpun boleh padam, dan bagaimana dia harus tetap lantang. Tentang rentang waktu duapuluhempat jam yang akan dengan hebat memberi kesempatan, tekanan, kesenangan, dan rindu yang mendalam. Yang seharusnya selalu diperjuangkan.


Lalu sekali lagi hatiku memantapkan sesuatu untuk dikejar, menggantung tak nyaman di langit-langit kamar, pada keempat sisi dinding penjaga malam, sepanjang jalan, menggoda dalam bayang-bayang. Jadi bukankah sekali lagi harus kembali bertaruh, tegak, berjuang untuk satu lagi mimpi yang terlanjur lontar pada pikiran?

Kamis, 24 April 2014

Secangkir Rindu


Lelah parah setelah tenggelam seharian dalam sibuk yang tak tergenapkan. Hari ini menyusur sekali lagi jalanan panjang penuh kemacetan, sepanjang siang, setengah malam. Kaki kaku-kaku, badan pegal-pegal, tenggorokan kering kerontang, perut berteriak keroncongan. Tapi bukankah kepuasan itu titik klimaks sebuah petualangan? Begitupun tentangmu. Aku tak juga menyerah merindumu, selelah apapun hatiku berpasrah, sekeras apapun otakku meminta. Selagi aku masih menikmati melakukannya.

Dulu aku selalu merengek minta waktu, memintamu menjadi luang diantara sibukmu. Dulu. Berlalu. Begitu saja, tiba-tiba tanpa kuminta, tanpa bisa kudeteksi alasannya. Sekarang sekedar merindumu saja rasanya sudah cukup bagiku. Bagaimanapun melulu membincangmu tak selalu menyenangkanku, terlebih aku mudah bosan pada sesuatu, sayang tidak tentangmu. Tak apa tak tahu apa-apa tentangmu sekarang.

Jumat, 18 April 2014

Padam

Membingkaimu, ketika hanya ada pekat yang terserak
Sejauh mata memandang kau adalah titik-titik terang yang teramat jarang kupandang
Kau adalah lautan yang membentang menantang awang-awang malam
Menjadikanku tawanan untuk mengakhiri jalanan
Mestinya kau tahu bagaimana kuasamu atasku,
Aku dengan susahku mengagumimu, menajamkan pandangan demi ceritaku
Ketika sudut pandangku terlampau tinggi jauh dari jangkamu
Ketika hanya gelap yang mengililingi setiap detailku
Kau memesonaku dengan nyalamu
Tapi aku jadi semu, ketika mati satu-persatu
Dan kau tak sedetikpun bertahan sekedar mengucap perpisahan
Satu hal yang luruh dari malam
Bahwa hanya kau yang benar, kau bukan matahari
Kau bias ketika pekat tersibak, pergi
Begitulah yang membuatku ingin berhenti
Dari sesudut sakit yang tak juga kumengerti


Nglanggeran, 09-03-14
Satu persatu kamu akan mati

Selasa, 15 April 2014

Malaikat Juga Tahu



Ibu selalu mengalah dari bapak, tapi semua juga tahu betapa hebatnya ibu. Kalau dinilai 10-100, ibu dapat seratus bulat, tambah dua kali lipat jika timbangannya mampu. Tapi sekali lagi, sehebat apapun, sebenar apapun, ibu tetap selalu sedia mengalah dari bapak. Tanpa diminta. Satu kali pernah kutanya kenapa ibu bisa se-legowo itu, jawabnya sederhana, hanya dengan sebuah senyum yang dalam artinya, katanya aku akan tahu jika nanti sudah jadi ibu. 

Lain kali, suatu saat aku diamanahi untuk mengalah, dalam sebuah cerita yang jauh berbeda dari milik ibu. Ini hanya tentang kestabilan sepihak yang butuh belas kasihan, dan bertolak dari lapangku semua akan baik adanya. Sekeliling tahu bagaimana posisi ku, dan bagaimana jalan ceritaku sampai harus ada di posisi itu. Dengan segala alasan yang meninggikanku, akhirnya aku yang dibuat turun jauh ke bawah. Sedih, luruh, berjibaku. Bahkan setiap alasan terhebatku mental. Bahkan setiap kebenaran yang kubuktikan tak lagi perlu. Kesediaanku mengucap maaf yang kemudian jadi obatnya. Dan begitulah. 

Membincang Kita



Malam ini membincang rintik hujan yang tak jemu-jemu menjeratmu dalam pikirku. Sekali lagi jumpa hari favoritku, hari dimana mengingatmu menjadi candu. Hari dimana lelah setelah dua puluh empat jam habis denganmu jadi bahagiaku.

Membingkaiku,
Dalam sebuah pagi, terburu, tak menentu, dan aku tak lagi formal berseragam. Ibu bilang aku cuma harus bangun lebih awal, memilih oksigen diantara bauran asap sepanjang jalan. Memasuki masa sehabis SMA, pada akhirnya.